Ridha Allah
LELAKI gagah berjubah
dan membawa seuntai tasbih, sambil komat-kamit. Wajahnya pucat menampakan style religius yang kuat. Jidatnya
hampir gosong, entah kenapa. Mungkin terlalu banyak bersujud atau karena
sengaja dihitam-hitamkan. Tiba-tiba nyeletuk
pada si Pardi di kedai itu.
”Mas, yang sampean
cari dalam hidup ini apa?”
”Apa ya? Saya juga
nggak tahu. Saya hanya pengin jadi hamba Allah yang benar saja. Kalau sampean
yang dicari apa?” Tanya Pardi.
Lelaki itu agak
kaget.
”Saya harus
memperbanyak ibadah, perbanyak pahala, perbanyak ganjaran biar kita nanti hebat
di akhirat…” jawab lelaki itu.
”Kalau saya nggak
butuh itu…”
”Haahhh…!” Ia semakin
kaget.
”Apa nggak kebaretan
pahala nanti di akhirat sampean ini. Kok pahala terus yang dipikir. Kelihatannya
sampean nggak percaya pada janji yang Punya Pahala ya…?”
“Lho kok begitu !
Saya percaya pada Allah, percaya sekali. Karena itu saya totalkan hidup saya
agar dapat imbalan diakhirat nanti”
“Apa sampean ini
pedagang akhirat kok mencari laba melulu, imbalan terus, nanti sampean jadi
konglomerat begitu, disana?”
“Wah, Mas… ikut saya
aja… jalan keliling supaya banyak dapat pahala. Kita nanti kaya raya di
akhirat…”
“Ada yang lebih kaya Mas dari sampean…”
“Siapa?”
“Saya!”
“Kok bisa?”
“Lha iya. Saya berada
di sisi Yang Maha Kaya. Sampean masih memburu kekayaan pahala. Hayooo…”
Lelaki itu bingung
dan mulai sebel pada Pardi.
“Terus yang sampean
cari apa kalau begitu?”
“Kalau Gusti Allah
Tanya saya, ya saya mencari ridha-Nya saja sudah cukup dan saya diridhai untuk jadi
hamba-Nya, sudah lebih dari cukup…”
Lelaki itu kegerahan.
Ia gunakan Koran untuk dijadikan kipas-kipas. Belum sempat ia minum kopi lalu
ngeloyor pergi.
Usai kepergian itu
Kang Soleh muncul. Lalu menegur Pardi.
“Kamu sudah tahu apa
itu ridha Di…?”
“Lhadhalah… Baru saja
saya mengenalkan ridha kepada tukang ibadah Kang…!”
“Kamu gak boleh
sombong begitu…!”
“Katanya menyombongi
orang sombong itu sedekah Kang. Ngomong-ngomong ridha itu apa sih Kang?”
“Ridha bukanlah bahwa
engkau tidak mengalami cobaan, rida hanyalah bahwa engkau tidak keberatan
terhadap hukum dan qadha Allah SWT”.
Kewajiban bagi hamba
adalah rela terhadap ketentuan Allah SWT yang telah diperintahkan agar ia ridha
dengan-Nya. Sebab tidaklah setiap ketentuan itu mengharuskan ia ridha, atau
boleh rida dengan qadha tersebut, misalkan kemaksiatan dan banyaknya fitnah
yang menimpa kaum muslimin.
Para syeikh berkomentar, “Keridhaan
adalah gerbang Allah SWT yang terbesar”. Maksud mereka adalah, bahwa barang
siapa mendapat kehormatan dengan ridha, berarti ia telah disambut sambutan
paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan tertinggi”.
Seorang murid
bertanya kepada gurunya, apakah si hamba mengetahui jika Allah ridha
kepadanya?’ Sang guru menjawab, ‘Tidak’, bagaimana dapat mengetahuinya, sedang
ridha-Nya ghaib?’ Si murid berkata, ‘Sungguh ia tahu hal itu! Jika aku
mendapati hatiku ridha kepada Allah SWT, maka aku tahu bahwa Dia ridha
kepadaku’. Maka sang guru lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak
muda’.
“Yang penting aku
hanya ingin ridha-Nya dan kelak dapat cinta-Nya , Kang…”
“Keinginanmu seperti
itu sudah lebih dari segalanya, Di…”
Pardi menghela nafas
dalam-dalam dan secangkir kopi Cak San sudah di depannya.
Sumber : Kedai Sufi
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Sumber : Kedai Sufi
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar