Jumat, 17 Mei 2013


MENINGGALKAN DERAJAT HEWANI


Dulkamdi ngelamun panjang, sampai tak karuan. Betapa tidak? Sapi yang ia pelihara sejak setahun yang lalu, kini harganya tetap sama saja, gara-gara menjamurnya daging sapi import dari luar negri. Produk dalam negri anjlok lagi, sehingga harga sapi untuk ritual qurban sangat murah.

“Kamu mestinya bersyukur Dul, banyak orang yang berqurban berduyun-duyun. Alias dengan rombongan,,,,” tegur Pardi.
“Maksudmu?”
“Lah iya, kalau orang berqurban sapi kan bias dinaiki tujuh orang. Nah, sekarang harga sapi murah, berarti kamu turut menolong banyak ummat Dul.”
“Ya, tapi….?”
“Tapi? Tidak ada tapi-tapian Dul.”


POSISI ANDA DI DEPAN ALLAH



Kang…, bisa nggak kita mengetahui, kedudukan kita saat ini di depan Allah?” Tanya Dulkamdi kepada Kang Saleh.

Kang Saleh hanya menghela nafas panjang. Ia pandangi sahabatnya itu lama sekali, sampai Dulkamdi kelihatan tidak enak, khawatir menyinggung Kang Saleh, atau jangan-jangan pertanyaan itu sudah masuk kedaerah rawan.
Dan, cess. Airmata Kang Saleh tumpah di pipinya.
Dulkamdi semakin merasakan tidak enak dibenaknya. Rasanya ingin segera pergi dari kedai itu. Tapi Pardi tiba-tiba dating, tanpa basa-basi meminta sisa kopi Dulkamdi yang tinggal seperempat cangkir.
“Dul. Kita sudah lama tidak bersenang-senang. Kalau sesekali kita menuruti hawa nafsu kita, apakah nggak boleh Dul, ya?”

Jumat, 10 Mei 2013


Jangan Bingung


Dulkamdi sudah hampir divonis gila oleh orang-orang sekampung. Kemanapun ia berjalan, selalu menyanyikan lagu-lagu. Kalau bukan lagu-lagu cinta seperti orang kasmaran, maka ia lagukan kisah penderitaan yang teramat dalam. Lalu airmatanya meleleh membelah pipinya yang kurus mongering. Ia sudah seperti majnun.

“Bagaimana nasib sahabat kita itu Kang?” Tanya Pardi.
“Nanti juga waras.”
“Jangan lama-lama Kang gilanya…”
“Memang saya ini Gusti Allah apa?”
“lho ya, saya nggak tega lihat Dulkamdi seperti itu…”
“Saya juga! Tapi Insya Allah nanti sore juga sudah kelar gilanya…”
“Kenapa nggak nanti siang Kang?”
“Biarlah dia lagi menikmati asmaranya dengan Allah.”

Dari jarak yang jauh, Dulkamdi memang tampak seperti kegirangan, lalu berjoged, bahkan tertawa terbahak-bahak. Ia bersya’ir dengan lagu yang begitu pahit :

www.IBLIS.com

Pagi itu, Pardi berpakaian necis, laiknya seorang pegawai perusahaan. Dgn gaya
seorang eksekutip Pardi memasuki kedai kopi Cak San, sembari menenteng sejumlah
tumpukan buku. "Mau kemana Kang?", tanya Cak San. "Lho nggak tau to, kalo saya
ini sedang kursus komputer?". "Wah kemajuan Kang. Nanti jadi apa setelah selesai
kursus?". "Saya mau belajar komputer sampai ahli, hingga saya bisa tau dimana
virus komputer itu." Cak San tidak terlalu tanggap, karena memang tidak tau
bahasa modern, apalagi virus komputer. Yg dia tau itu virus padi yg biasanya
menghabiskan tanaman petani disawah. Pernah juga mendengar, misalnya virus
masarakat, virus dlm tubuh, virus politik, dll. tapi riciannya tidak tau, hanya
dari mulut ke mulut saja.
Kang Parmin Naik Haji

Menjelang keberangkatan para Calhaj, kedai Cak San terus menjadi ajang diskusi
soal Haji. Soal pengalaman aneh2di tanah suci, sampai berbagai penderitaan
akibat ulah para oknum kelompok di tanah air. Tetapi bagi Kang Parmin,
pengalaman naik haji ditahun silam justru lain. Kang Parmin tergolong manusia
langka yg datang ke kedai itu. Kadang2 saja, dua bulan sekali ia menongolkan
kepalanya, sambil mencari obat kangen kedai kopi Cak San. Pardi paling
bersemangat kalau menanyakan pengalaman Kang Parmin. "Saya dulu naik haji, saya
niati untuk plesiran, dharmawisata lah..." kata Kang Parmin.

Muludan Apa Mulutan

sedari pagi itu Pardi terus ngoceh, melebihi burung cocak rowo. Suaranya kadang
lantang diselingi gelak tawanya yang nyaring. Sulit dibedakan, apakah Pardi
sedang dikedai atau sedang di tengah2 pasar sepeda untuk bermakelaran.
"Mustinya bulan-bulan kelahiran Nabi SAW ini kamu banyak baca sholawat Di, bukan
main mulut terus2an begitu. Bisa2 kamu nggak dapat Maulud tapi malah dapat mulut
saja," Dulkamdi menginterupsi. "Habis, saya pusing dengan berita politik, Dul.
Daripada ngoceh di Senayan sono, mending disini saja Dul". "Tapi lebih mending
kamu baca sholawat lo Di". "Iya si. Tapi gregetanku belum selesai, masak saya
harus baca sholawat sambil gregetan Dul," "Ya siapa tahu, sholawatmu nanti bisa
meredakan gregetanmu". "Wah, kamu benar2 seperti Kiai Dul". "Minimal jadi Gus
lah," "Kalau jadi Gus, dikira kamu adiknya Gus Dur, wong panggilannya Gus Dul.
hahaha,"

Rabu, 08 Mei 2013


  Tharekat
 
 Pardi kelihatan semlengeren. Jidatnya terasa penat. Sesekali menarik nafas panjang, lalu mengepalkan tinjunya, digedor-gedorkan ke dinding.
“Di, jadi orang jangan mudah frustasi…..”
“Saya nggak drustasi Dul. Hanya saya in jengkel banget…”
“Ya, tapi lama-lama bisa frustasi, karena jengkel itu melahirkan kekecewaan, dan kekecewaan mendorong untuk putus asa”
“Habisnya bagaimana Dul. saya ini disalahkan karena saya bertarekat. Katanya nggak usah tarekat-tarekatan. Tarekat itu jalan, metode atau cara, kenapa harus bertarekat
“Ya nggak usah kamu prihatinkan. Didoakan saja smoga dapat hidayah.”
“”Ya deh Dul. Doakan saya bisa dengan sendiri.”
Makna Yaqin

Disebuah kedai, pardi dan dulkamadi sedang asyik mendiskusikan makna yaqin. “Yaqin itu sebagai lawan dari ragu ragu, skeptik, hipokrit(munafik) dan angan angan panjang yang tidak berkesudahan. Memulai sesuatu haruslah dengan rasa yaqin yang kuat, bukan yaqin pada kekuatan diri, percaya diri, rasa hebat diri, rasa unggul diri, bukan ! Tetapi yaqin pada Allah Ta’ala ” kata kang sholeh mencoba menggaris bawahi sejumlah aksioma tentang yaqin…
“Apa sih kang yang diyakini dari Allah Ta’ala dibalik perjalanan sukses itu sendiri ?”
“lhaah, berarti tandanya kamu masih belum yaqin kalau masih bertanya seperti itu…”
“memang kang. . . Jujur saja saya semakin tolol, ketika membedah soal yaqin ini, sebab banyak orang yang mencoba belajar yaqin. Pada diri sendiri, akhirnya malah terjebak dalam dunia ilmu sihir. Kan celaka”.
“Allah memiliki asma’ dan sifat sifat Agung yang senan tiasa Maha Akrab dengan hamba hambaNya, menghendaki kebajikan hamba dan tidak menginginkan hamba celaka. Seluruh protes hamba seputar takdir. Fakta kehidupan, ketidak adilan, akhirnya hanya membuat “bungkam para hamba ,manakala para hamba memahami Allah. Dan mengenal Allah dengan sesungguhnya. Apa masih kurang yaqin ?”
Memburu Alloh

Seorang tamu di kedai itu sejak tadi pagi memegang tasbih. Rambutnya gondrong, menjadi lengkap disebut sebagai pengembara ketika tongkat dan rangselnya ada di pundaknya.  Tapi wajahnya tampak sangar, matanya memerah dan lehernya menekuk.

"Mas, apa saya boleh berguru ke pondok ini ya?" celetuknya pada Pardi.
"Berguru apa Mas?"
"Ya, supaya saya bisa dzikir, dan tentu sampean tahu maksud saya..."
"Wah saya ini orang bodoh Mas. Jadi saya tak mengerti maksud Mas..."

"Begini, singkatnya, saya sedang mencari banyak guru, untuk memburu ilmu, agar saya mendapatkan karomah, kehebatan, dan sekaligus pahala. Oh, ya, apakah keistemewaan dari dzikir dan ilmu di sini...."
Rela Nyembah Gusti Alloh? 

“ Kamu sudah kenal gusti ALLAH Dul? “ tanya pardi tiba-tiba, ketika fajar mulai menyingkap semesta.
“ wah pertanyaan kok nganeh-nganehi Di… “
“lha wajar tho,ALLAH sudah kita sembah bertahun-tahun. Jangan-Jangan kita tidak kenal… “
Dulkamdi puyeng mendengar pertanyaan yang langsung menghujam ke ulu jantungnya, sampai ke ubun-ubun pikirannya. “ tidak Di, kamu kok tiba-tiba Tanya begitu pasti ada latar belakangnya…”.
  “ latar belakangnya ya kebingungan saya, soalnya sekarang banyak orang ngaku makrifat, hakikat, sampai  njlimet, tapi nyatanya tidak kenal gusti ALLAH …”.
“ lhah itu soal klasik sejak jaman dahulu juga banyak manusia seperti itu. Tidak usah dipikirkan, tiwas melu edan…”
“ lha terus gimana tho Dul? “
“ gampang, coba tadi malam kiai mursyid kan melontarkan suatu hadist nabi. (“telah merasakan nikmatnya iman, orang yang rela ALLAH sebagai tuhan, islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi ”)beres kan? Tidak usah puyeng-puyeng….”
“ lalu rasa tersebut macam apa, Dul? ”
Kedamaian

KANG Soleh berkali-kali merngepuskan asap rokoknya ke angkasa. Kepulan asap itu hampir-hampir membuat Kedai Cak San melayang ke udara. Sesekali ia ucapkan istighfar, lain kali jemari kakinya mengetuk-ngetuk ke arah meja. Kang Soleh stres? Tidak! Sebab, ia tampak sedang mencari-cari sesuatu. Kadang ia tersenyum sendiri, kadang bola matanya mengembangkan genangan air mata. Kadang wajahnya sedikit mendongak ke atas, kadang matanya memandang tajam pada satu objek tertentu.

Cak, tidak berani bertanya. Seringkali hal itu dialami Kang Soleh. Tapi, bagi Pardi dan Dulkamdi, kondisi Kang Soleh seperti itu dianggap sebagai bagian dari tema diskusi. Kalau perlu dijadikan objek kajian di majlis kedai kopi itu.

Angan - Angan Imajiner


Pardi ingin sekali berhenti dari hobinya.”mengkhayal”. setiap kali ada bayangan dan angan-angan, ia langsung potong angan-angan itu agar tidak berubah menjadi khayalan. Sebab, panjang angan-angan itu adalah induk dari liarnya nafsu.
Berkali-kali ia mengusap jidatnya seperti orang gila. Padahal ia sedang sebel dengan dirinya sendiri.
Banyak imajinasi yang saat ini dijualbelikan, dijadikan komoditas, dan industri imajinasi dan khayalan paling laris dijual. Itulah dosa terbesar peradaban manusia modern setelah kemusyrikan dan kekafiran. Karena selubung kemunafikan ada di sana, ada pada khayalan dan angan-angan yang liar.
“Astagfirullah…!” desah Pardi berkali-kali yang didengar oleh Dulkamdi di kedai kopi pagi itu.
“Kenapa, Kawan?”
“Lah iya. Saya ini akan berhenti jadi pelamun, kok sulit banget ya, Dul…”
“Realistis sajalah!”
“Gundhulmu itu. Realitanya saya suka ngelamun…Dul!”
“Ya, ingat saja kata-kata Ibnu Athaillah, “orang yang alpa adalah orang yang memandang apa yang bakal dikerjakan nanti, dan orang yang berakal sehat adalah orang yang memandang apa yang bakal diberlakukan kepadanya oleh Allah SWT.”

   Iblis Tidak Lengah

Kang Soleh kelihatan seperti orang demam pagi itu, walau suhu sebenarnya sangat panas, disbanding pagi-pagi sebelumnya.

“Demam, Kang?” tanya Pardi
“Nggak tahu nih, menggigil banget rasanya. Tapi demam juga nggak, cuma serasa seluruh bumi bergetar….
Pardi menyerap napas dalam-dalam sambil mengira-ngira apa yang sedang dirasakan Kang Soleh.
“Untung saya nggak tahu Kang…” celetuk Pardi.
“Tapi kamu harus tahu, Di…”
“Apa Kang? Gawat nggak..?
“Sangat!”
“Tentang….?”
“Tentang Iblis!”

Lalu Kang Soleh membuka sebuah kitab, tentang akhlak para ulama salaf yang saleh

Selasa, 07 Mei 2013

 Cahaya Illahi

Listrik di seluruh desa tiba-tiba mati. Biasa, PLN suka byar pett, tanpa mengindahkan konsumen. Tapi kalau telat membayar rekening listrik sehari saja, petugas PLN begitu garangnya memutus aliran listrik. Untung orang-orang di desa itu, cukup menyalakan lampu minyak, kembali seperti zaman sebelum listrik masuk desa.

“Ternyata PLN lebih kejam daripada ibu tiri,” gumam Pardi sambil terus nggedumel ngalor ngidul.

Sampai pagi hari lampu listrik belum juga menyala. Kedai Cak San hanya disirami cahaya lampu ublik yang tidak terang.

“Baru saja gelap di dunia, kita sudah resah, bagaimana nanti kalau kita memasuki kegelapan di akhirat?” sindir Dulkamdi.

Maqom Para Hamba

Ada kalangan yang diposisikan Allah untuk berkhidmah (bakti) kepada-Nya, dan ada kalangan yang oleh Allah dikhususkan mencintai-Nya. “Kesemuanya Kami anugerahi mereka, dan mereka itu mendapatkan anugerah dari Tuhanmu, dan anugerah Tuhanmu tidaklah terhalang”.
Tiba-tiba Kang Soleh berpidato layaknya Kyai saja. Ia kutib dawuhnya Ibnu Athaillah.
Para hamba Allah ada yang masih dalam tahap sebagai hamba yang penuh berikhtiar untuk melakukan perjuangan dan pengabdian. Mereka ini adalah para Muridin, yaitu para hamba yang terus berharap agar bisa wushul kepad Allah Ta’ala.
Ridha Allah
LELAKI gagah berjubah dan membawa seuntai tasbih, sambil komat-kamit. Wajahnya pucat menampakan style religius yang kuat. Jidatnya hampir gosong, entah kenapa. Mungkin terlalu banyak bersujud atau karena sengaja dihitam-hitamkan. Tiba-tiba nyeletuk pada si Pardi di kedai itu.
”Mas, yang sampean cari dalam hidup ini apa?”
”Apa ya? Saya juga nggak tahu. Saya hanya pengin jadi hamba Allah yang benar saja. Kalau sampean yang dicari apa?” Tanya Pardi.
Lelaki itu agak kaget.
”Saya harus memperbanyak ibadah, perbanyak pahala, perbanyak ganjaran biar kita nanti hebat di akhirat…” jawab lelaki itu.
”Kalau saya nggak butuh itu…”
”Haahhh…!” Ia semakin kaget.
”Apa nggak kebaretan pahala nanti di akhirat sampean ini. Kok pahala terus yang dipikir. Kelihatannya sampean nggak percaya pada janji yang Punya Pahala ya…?”
 Iqro Dengan Kalbu
(Kapan Sufi Di Mulai)

Pardi berkeringat basah pagi itu. Nafasnya ngos – ngosan, seperti baru dikejar raja babi hutan.

“Olahraga kok dipaksa, Di. Kalau ngga kuat istirahat dulu . Jangan langsung lari tiga kilo.. “ sindir Dulkamdi

“Olahraga gundhulmu itu, “ jawab Pardi ketus.

“Terus?”

“ Saya ini cepat –cepat lari kemari, khawatir telat ketemu orang – orang disini, terutama pada Kang Soleh, sebab kabarnya ia mau pergi ke Jakarta “

“Ada apa sih?”

Sambil meredakan nafasnya, Pardi menjawab,

“Semalam saya menghadiri diskusi dikota , Dul. Narasumbernya dari Jakarta dan Surabaya. Ada Penanya yang cukup mengagetkan . dan lebih kaget lagi , narasumbernya tidak tahu jawabannya. “

Sufi Kusir Kuda
 
Pagi itu, Pardi tidak tampak, pada acara majlis kedai kopi Cak San. Mereka sedang berdiksi tentang siapa, bagaimana dan seperti apa seorang wali Allah itu. Sebab di masyarakat sedang berkembang isu yang miring, kalau ada seorang putra kiai (Gus, dan maksudnya bukan Gus Dur) yang aneh atau seorang kiai yang dipanggil Gus punya perilaku aneh-aneh, langsung diklaim sebagai Wali. Sedikit-sedikit orang dikatakan Wali dan masyarakat saling mendukung, tapi di lain pihak juga ada yang kontra.
“Bukan! Dia itu bukan Wali…” kata Kang Soleh menunjuk sebuah nama yang sering disebut Gus oleh masyarakat kampung itu. “Lalu, dia itu kok hebat Kang?” tanya Dulkamdi. “Iblis saja hebat kok. Jin juga hebat, bahkan Jin pernah ikut sayembara memindah istana Bilqis ke dekat Istana Sulaiman, walau pun dalam sandiwara itu ia kalah dengan Barkhaya, teman Sulaiman yang juga Waliyullah.” “Jadi…wakh…kita bisa teripu oleh kehebatan seseorang, dong!”
 Bidadari pun Ngomel
 
Pagi itu , kedai Cak San belum ada pelanggan yang datang. Kecuali seorang kakek tua yang bertubuh kurus dan berwajah pucat. Badannya gemetaran dan tubuhnya dibungkus sarung sampai menutup kepalanya.

“ Lagi sakit, Mbah..”

“Wajah Mbah kelihatan pucat. Mbah mungkin terserang demam..”

Kakek itu diam saja. Ketika secangkir kopi disodorkan di hadapannya , ia raih cangkir itu segera. Dan suara sruputan itu terasa nikmat sekali.

Pardi dan Dulkamdi datang bersamaan, sepulang dari jama’ah subuh masjid Raudah. Agak jauh dibelakang Kang Soleh dan rombongannya., sedang asyik berbincang . Satu per satu akhirnya mereka memasuki kedai Cak San.

   Protes Pada Alloh


http://www.berdikarionline.com/wp-content/uploads/2012/05/aksi-protes2-375x290.png
Dengan dengus nafas ngos-ngosan, lelaki bertubuh tambun itu memasuki kedai Cak San. Ia memesan air putih dua gelas besar, untuk mengusir dahaganya. Rupanya pagi yang dingin itu, tidak mampu menyelimuti kegerahan dadanya. 
"Dari mana Mas, kok seperti dikejar harimau?"
Sembari menegak dua gelas air putih, lelaki itu masih juga belum menjawab pertanyaan Pardi.
"Jangan tanya dari mana pada saya. Tapi saya harus bertanya lebih dulu kepada anda-anda di sini, kemana itu Kang Soleh? Saya ingin bikin perhitungan dengan dia....!"
Mendengar gertakan si gendut itu, penghuni kedai kopi cukup terhenyak. Ada apa gerangan Kang Soleh dikejar manusia heboh seperti dia ini. Apa Kang Soleh punya hutang, punya kesalahan, atau ada bratayudha antara Kang Soleh dengan orang ini? Nggak jelas.
"Sebentar lagi juga datang Pak, sabar sebentar," sahut Dulkamdi.
"Ya, saya ingin minta pertanggungjawabannya!"
AKHLAQ  ALLAH
" Saya tidak faham.  Kang  Soleh,  saya  tidak  mudeng,  apa  yang dimaksud dengan hadist Nabi, "Berakhlaqlah dengan akhlaq Allah". Saya benar-benar tidak ngeh !" tanya Dulkamdi pada Kang Soleh.
Kang Soleh tidak menjawab. Ia angguk-anggukan lututnya sembari menikmati lagu-lagu di radio subuh itu.   Asap  rokoknya  terus  mengepul, sementara bibirnya kadang menyunggingkan sebuah senyum.
Dulkamdi terus penasaran, tapi ia tidak mau bertanya  lagi, menunggu jawaban Kang Soleh.  Sementara Pardi terus melototi arah Kang Soleh, siapa tahu ada pandangan gemulai yang bisa mencerahkan  jiwanya.   Dan nyatanya cukup lama Kang Soleh tidak menjawab.   Ia nikmati betul lagu di radio pagi itu. begitu selesai lagu indah itu, baru ia bicara. "Allah menggesekkan biola semesta jagad raya ini, kamu sekalian yang menghayatinya. Itulah simpulan dari hadist Nabi SAW itu. "
" Bukannya kita membuat miniatur biola Tuhan, lalu kita ikut
menggeseknya, Kang ?"  potong Pardi.

Jangan Hanya Nuruti Nafsu

PAGI itu, Pardi kelimpungan. Hatinya gelisah, resah dan ketakutan.
“Kamu sakit flu, Di?” Tanya Dulkamdi.
“Nggak, sehat-sehat saja…”
“Pasti hatimu yang sedang flu, masuk angin, kemasukan apa Di…?”
Pardi masih terdiam, tidak bisa menutupi kegelisahan bathinnya. Dulkamdi tahu benar kejanggalan itu.
“Jangan dipendam nanti sakit jantung…”
“Iya Dul… saya lagi gelisah, jangan-jangan apa yang kita lakukan selama ini, karena menuruti hawa nafsu saja…”
“Maksudmu?”
“Ya ini, di kedai Cak San ini… Masak kamu nggak kroso, kita sangat menikmati suasana ini, kita bicara ngakak, kita ceplas-ceplos, seperti ini kita paling hebat…”
Kini ganti Dulkamdi dan Cak San yang terhenyak mendengar ucapan Pardi. Ya, mereka merasa jangan-jangan ada selipan-selipan hawa nafsu di balik obrolan dunia sufi ini. Nafsu menikmati pengetahuan yang mendorong seseorang jadi bangga dan merasa paling hebat.

Sihir Wanginya Dunia

“DUNIA…Dunia…Dunia sudah tua, dan mirip perempuan tua yang sudah renta…kok terus diuber-uber, dikejar, dikawini, dicumbui…..” kata Dulkamdi sambil geleng-geleng kepala.
“Kita kan masih di dunia Dul…” sahut Cak San sambil menyeduh kopi, aromanya menyelimuti seluruh kedai.
“Ya, Cak… Hmmm… Baunya memang harus menurut hidung dan nafsu. Tapi begitu busuk menurut ciuman hati… hmmm” kata Dulkamdi sembari meleguhkan nafas panjang.
“Kalau tidak begitu, kita tidak akan sempurna Dul…”
“Bener juga sampean Cak…”
Pardi membawa sebuah kitab gundhul yang ada harakatnya. Dulkamdi penasaran.

Senin, 06 Mei 2013


Bersabarlah

PARDI mulai puyeng kepalanya. Segalanya terasa judek. Masalahnya seperti tumpukan sampah di depan mata. Sudah berbau menyengat, sepet dipandang. Bahkan lebih dari sekedar sampah.
“Di…Di…kamu ini masih muda, kok stress melulu…”
“Aku nggak stress, Cuma aku lagi jengkel bukan main…”
“Apa bedanya?”
“Beda donk Dul…”
“Bedanya?”
“Kalau stress itu hasilnya jengkel, kalau jengkel itu apinya stress… ha..ha..ha..”
“Nah, gitu donk tertawa… Kamu jengkel kenapa?”
“Saya jengkel pada diri sendiri, dan orang lain…”
“Itu namanya ujian…”

Pemalas Atas Nama Tawakal

“ENTAR, kalau urusan saya masih saja kesandung-sandung saya baru tawakal Dul…” ucap Pardi pagi itu.
Dulkamdi tahu Pardi banyak masalah akhir-akhir ini.
“Baguslah kamu masih ingat Allah. Masih bisa tawakal…”
“Tapi tawakal itu harus mendahului niat dan ikhtiar. Jangan setelah mentok baru tawakal. Itu salah”, celetuk Kang Soleh.
“Wah, ini pemahaman baru kang. Selama ini saya usaha dulu baru kalau gagal tawakal…”
“Tawakal itu tempatnya di hati, bukan di akal dan pikiran, bukan di fisik kita. Kalau tawakalmu di fisik, pikiran, dan akalmu, itu bukan orang tawakal tapi orang males mengatasnamakan tawakal. Itu tawakal pada keadaan, bukan pada Allah. Padahal Allah menyebutkan “Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri” (Q.s. Ibrahim: 12). Setelah Allah menyebutkan tawakalnya semua orang yang bertawakal (secara umum), kemudian mengkhususkan tawakalnya orang-orang mukminin,

Nafsu Berdakwah

Assalamu’alaikum wr. Wb. Kenalkan, saya sekarang tinggal di kompleks perumahan yang sangat majemuk warganya. Saya seorang aktivis dakwah yang ingin menyampaikan dakwahnya dengan cara pendekatan sufistik (tasawuf). Apakah hal ini akan efektif untuk jamaah yang majemuk tersebut? Atau harus ada metode penyeimbang lain?” tanya seorang pemuda kepada Kang Soleh di pagi buta usai berjamaah di Masjid Raudhah.
“Oke, kita ngopi di kedai sana yuk. Sambil ngobrol?”. Mereka berjalan berdua, dan tentu si Pardi dan Dulkamdi sudah ada disana.
“Apakah anda menganggap dakwah itu sebuah profesi?”
“Ya”.
“Jadi anda dapat keuntungan dari dakwah anda?” pemuda itu gelagapan.

Meraih Esensi Keikhlasan

“Kita ini sudah salah kaprah ya. Masak orang mau menunjukan kehebatannya, malah mengatakan, kalau dirinya tidak sombong. ‘Saya tidak sombong, lho…’ Padahal itu juga sombong juga”. Kata Dulkamdi memancing pembicaraan pagi itu.
 “Wah, kalau salah kaprah begitu banyak sekali Dul. Tapi itulah, kenyataan masyarakat kita. Ada yang menonjolkan diri, dan semakin bangga kalau ia menonjol dengan kesukuannya. Ada yang menonjolkan diri dengan ilmunya, dan semakin bangga kalau muncul decak-decak mulut padanya. Ada yang menonjolkan anunya, dan itunya, dan semakin bangga kalau dijadikan bahan berita”, kata Kang Soleh.
Tiba-tiba Pardi datang, tanpa basa-basi, ia bagi-bagikan uang kepada orang-orang yang hadir disana, tanpa pandang bulu.

Menyebut Nama Alloh


Pagi yang dingin, embun turun seperti kapas melambai. Tiba-tiba muncul serombongan orang-orang yang tampaknya berpenampilan religius. Pardi dan Dulkamdi penasaran. Karena mereka banyak sekali bicaranya, dan sedikit-sedikit meneriakan Allahu Akbar…! Masya Allah…! Subhaanallah…!.
Gerangan apa, pikir Pardi yang membuat orang-orang ini mengenal Kedai Cak San? Pardi mengernyitkan jidatnya sampai berlipat-lipat.
“Dul, bagaimana menurutmu?”
“Kamu ini kayak nggak tahu kedai ini saja. Walaupun kecil, terpencil, sederhana, kedai ini hampir seterkenal KFC dan McDonald, nggak usah heranlah…”
Mereka pun memesan kopi dan makan kecil pagi itu, sambil berdiskusi sendiri, tanpa menghiraukan hadirnya Pardi dan Dulkamdi. Suara mereka cukup keras, karena setiap pembicaraan selalu diiringi kata-kata yang menyebut nama Allah dengan keras dan lantang.