Tharekat
Pardi kelihatan semlengere n. Jidatnya terasa penat. Sesekali menarik nafas
panjang, lalu mengepalka n
tinjunya, digedor-ge dorkan ke dinding.
“Di, jadi orang jangan mudah frustasi…. .”
“Saya nggak drustasi Dul. Hanya saya in jengkel banget…”
“Ya, tapi lama-lama bisa frustasi, karena jengkel itu
melahirkan
kekecewaan , dan
kekecewaan mendorong untuk putus asa”
“Habisnya bagaimana Dul. saya ini disalahkan karena saya bertarekat . Katanya nggak usah tarekat-ta rekatan. Tarekat itu jalan, metode atau cara,
kenapa harus bertarekat ”
“Ya nggak usah kamu prihatinka n. Didoakan saja smoga dapat hidayah.”
“”Ya deh Dul. Doakan saya bisa dengan sendiri.”
“Harus. Kamu harus sabar, apalagi sekarang banyak gerakan yang
mengatasna makan tarekat, ada
pula yang merasa lebih hebat dari tareat, ada pula yang anti tarekat, ada yang
mengkafirk an tarekat…. Nggak
usah bingung. Memang jamannya begini. Jamannya orang sedang bangga dengan
penikut, dan jumlah massa. lalu kalu jumlahnya besar jadi bangga, jadi merasa
hebat, lalu tokohnya dianggap sebagai wali. Kita sudah
ditakdirka n hidup di jaman edan ini
di.”
Pardi kelihatan merenung memandng langit-lan git kedai itu.
Kang saleh datang dengan menyelimut kan sarungnya sampai ke kepala, seperti orang
kedinginan . Tapi dari gemertek
giginya Kang saleh sedang melawan hawa pagi itu, dengan
mendendang kan lagu Abu Nawas ;
Ilahi lastu li al-firdusi ahla…
wala aqwa ala an-nari al-jahimi.
Tuhaaaaan, betapa tak layaknya aku
sebagai penghuni surga. Tapi toh Tuhan, aku tak mampu dengan ganasnya api
neraka…..
Lalu kang saleh mengeluark an sebuah buku bersampul hitam. Buku tebal itu
berjudul “Tarekat tanpa Tassawuf, Tassawuf tanpa Tarekat”.
Pengarangn ya adalah Kang saleh
sendiri.
Pardi dan Dulkamdo terjengak penuh heran. Kapan kang saleh menulis buku
setebal itu? Tiba-tiba kok sudah terbit?
“Boleh baca isinya kang? Jangan bikin saya deg-degan kang.
Tiba-tiba Anda kok jadi pengarang buku tebal ni. Kapan
menulisnya ?”
“Baca dulu baru berkomenta r!” Kata Kang saleh.
Pardi dan Dulkamdi berebut untuk terlebih dahulu membaca. Pardi
membolak balik buku tebal itu, dari halaman awal sampai akhir. Kira-kira seribu
halaman. Dua jidat menjadi terkenyit. Matanya mebelalak seperti tak percaya. Ternyata
dari awal halaman sampai akhir tidak satupun huruf, apalagi judul bab, atau
kalimat. Segebok buku itu kosong melompong. Hanya ada sampul belaka berjudul “Tarekat tanpa
Tassawuf, Tassawus tanpa Tarekat”, oleh kang saleh, diterbitka n dari kedai kopi sufi.
“Apa-apaan Kang? Ini
maksudnya apa?”
“Lha, kamu kok nanya maksudnya ini bagaimana. Sudah gamblang jelas seperti itu….”
“Apanya yang jelas ?? wong kosong bolong melompong kopong kok”.
“Lha iya itu maksudnya.
Kosong bolong melompong kopong.”
Dua sahabat, Dulkamsi dan Pardi manggut-ma nggut hampir seperempat jam, seperti burung onta. Lalu
dua-duanya tertawa bersama, meledak
bersama, dan gaduh brsama.
‘Wah, ini buku terhebat di dunia hari ini Kang. Harry Potter pasti
kalah… Semua rasa frustasi saya terjwb disini. Yah, bagaimana kosong bolong
melompong gombong kok merasa penuh dengan kandungan mutiara. Pasti
jauh…jauh… ha…ha…ha ".
“Tassawuf tanpa Tarekat dan Tarekat tanpa Tassawuf ibarat buku itu,
Kosong”
Untung orang masih sadar kalau dirinya kosong
glondangan dengan bunyi nyaring.
Betapa kosongnya mereka yang bertassawu f tapi tak bertarekat , dan bertarekat tapi tak bertassawu f.
Sumber : Kedai Sufi
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar