Pagi itu, Pardi tidak tampak, pada acara
majlis kedai kopi Cak San. Mereka sedang berdiksi tentang siapa,
bagaimana dan seperti apa seorang wali Allah itu. Sebab di masyarakat
sedang berkembang isu yang miring, kalau ada seorang putra kiai (Gus,
dan maksudnya bukan Gus Dur) yang aneh atau seorang kiai yang dipanggil
Gus punya perilaku aneh-aneh, langsung diklaim sebagai Wali.
Sedikit-sedikit orang dikatakan Wali dan masyarakat saling mendukung,
tapi di lain pihak juga ada yang kontra.
“Bukan! Dia itu bukan Wali…” kata Kang Soleh menunjuk sebuah
nama yang sering disebut Gus oleh masyarakat kampung itu.
“Lalu, dia itu kok hebat Kang?” tanya Dulkamdi.
“Iblis saja hebat kok. Jin juga hebat, bahkan Jin pernah ikut sayembara
memindah istana Bilqis ke dekat Istana Sulaiman, walau pun dalam
sandiwara itu ia kalah dengan Barkhaya, teman Sulaiman yang juga
Waliyullah.”
“Jadi…wakh…kita bisa teripu oleh kehebatan seseorang, dong!”
“Makanya, jadi orang itu jangan mudah kagum, mudah terpesona, mudah jatuh cinta, kecuali kepada Allah. Nanti, kamu tidak bisa jernih berfikir…” “Jadi Wali itu yang bagaimana Kang?” “Wali itu adalah seseorang yang hidupnya total untuk mengabdi kepada Allah dan menghindarkan dirinya untuk maksiat kepada-Nya. Diantara karakteristiknya, Wali itu tidak pernah punya rasa takut, khawatir dan gelisah atau susah. Kewalian itu hak Allah. Jadi kamu itu, Dul, jangan bercita-cita jadi Wali, sebab Wali itu hanya hak Allah. Bisa saja Allah mengangkat dari seorang yang berpofesi kiai, artis, tukang becak, tukang ojek, gelandangan, bahkan orang yang dulunya maling terbesar.”
Mereka pada diam terhenyak dengan penjelasan Kang Soleh, sembari mereka mengintropeksi pandangan masing-masing yang melenceng soal Wali selama ini.
Apalagi masyarakat kita seringkali membuat klaim, bahwa yang
didukung umat itu mesti benar dan yang tidak didukung itu salah. Padahal
kebenaran itu tidak perlu dukungan. Kebenaran kadang-kadang didukung
oleh mayoritas, kadang-kadang tidak punya dukungan sama sekali.
Kebatilan juga begitu, kadang-kadang didukung mayoritas kadang-kadang
tidak mendapat dukungan sama sekali.
“Assalamu’alaikuuuuummm…..!”
“Wa’alaikumusalaaaammmm….!”
“Wah, darimana kamu ini Di, kok baru nongol, tanya Kang Soleh pada Pardi
yang baru saja tiba dengan nafas ngos-ngosan.
Dalam tulisan ini, saya akan membuka kembali sejarah seorang wali
besar yang bernama Abu ’Ali Fudhail Ibn Iyadh (723-803M.). Di mana
perjalanan spiritualnya cukup menarik untuk dikaji dan dijadikan
pelajaran berharga bagi para pendosa yang ingin mendapat ampunan dan
keridaan-Nya. Kita tidak usah heran. Sebab, apa yang ada di dunia ini
serba mungkin. Bila ada seorang maling menjadi wali, mengingat rahmat
Allah lebih luas daripada murka-Nya. Menurut sejarah atau biografi para
sufi, perjalanan spiritual Fudhail Ibn Iyadh boleh dibilang sangat
menarik dan cukup mengagumkan. Penting kita gali nilai-niali etik dan
moral dari beliau guna melahirkan kesadaran untuk berbuat dan melangkah
ke arah yang lebih baik agar kita mendapat rezeki rohani berupa
kesadaran dan pengertian tentang makna dan arti kehidupan, sehingga
mampu menjadi orang yang berperilaku arif dan bijak.
“Begini Kang, saya tadi naik dokar. Wah, kusirnya antik, Kang.
Pokoknya ceritanya panjang sekali. Kesimpulannya begini, saya kira kusir
itu pasti hebat kesufiannya. Kalau saya ceritakan bisa berhari-hari
baru selesai…”
“Bagaimana ceritanya…”
“Pokoknya hebatlah!”
“Minum kopi dulu Di, minum kopi…”
“Ya..ya…. Saya belum pernah jumpa kusir kuda itu. Kebetulan penumpangnya
hanya saya. Dia cerita tentang filsafat dokar, roda dokar, kuda dan
kendalinya, bahkan ketukan-ketukan kaki kuda, sampai jumlah ketukan
dalam sekian langkah kuda. Semuanya mengandung filosufi kehidupan yang
dalam. Karena itu si kusir itu menikmati betul sebagai kusir selama
bertahun-tahun…”
“Menurut kamu bagaimana kehidupan kusir itu?”
“Lha, si kusir itu pikirannya modern seperti profesor Kang. Dia bisa
bicara soal internasional, soal ekonomi dunia, sampai soal politik dalam
negeri. Dia juga tahu detil bagaimana strategi perang laut dan gerilya
darat. Bahkan yang aneh lagi, Pak kusir ini beristri tiga dan anaknya
dua puluh enam Kang. Hebat nggak. Betul-betul hebat.”
Kang Soleh tercengung mendengar cerita Pardi itu. Tiba-tiba airmatanya
meleleh, giginya menekan-nekan menahan keharuan atas kisah nyata itu.
Pardi pun akhirnya juga turut menangis.
“Dia telah berhasil mengendalikan dunia, telah sukses mengendalikan
nafsu, telah sampai pada tujuan sebenarnya. Dan dia selalu berhasil
mengendalikan kuda nafsunya, menjalankan roda dokar zikrullahnya.
Subhanallah…!”
Sumber : Kedai Sufi
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Sumber : Kedai Sufi
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar