Angan - Angan Imajiner
Pardi ingin sekali berhenti dari hobinya.”mengkhayal”. setiap kali ada bayangan dan angan-angan, ia langsung potong angan-angan itu agar tidak berubah menjadi khayalan. Sebab, panjang angan-angan itu adalah induk dari liarnya nafsu.
Berkali-kali ia mengusap jidatnya seperti orang gila. Padahal ia sedang sebel dengan dirinya sendiri.
Banyak imajinasi yang saat ini dijualbelikan, dijadikan komoditas, dan industri imajinasi dan khayalan paling laris dijual. Itulah dosa terbesar peradaban manusia modern setelah kemusyrikan dan kekafiran. Karena selubung kemunafikan ada di sana, ada pada khayalan dan angan-angan yang liar.
“Astagfirullah…!” desah Pardi berkali-kali yang didengar oleh Dulkamdi di kedai kopi pagi itu.
“Kenapa, Kawan?”
“Lah iya. Saya ini akan berhenti jadi pelamun, kok sulit banget ya, Dul…”
“Realistis sajalah!”
“Gundhulmu itu. Realitanya saya suka ngelamun…Dul!”
“Ya, ingat saja kata-kata Ibnu Athaillah, “orang yang alpa adalah orang yang memandang apa yang bakal dikerjakan nanti, dan orang yang berakal sehat adalah orang yang memandang apa yang bakal diberlakukan kepadanya oleh Allah SWT.”
“Weh, benar juga kamu, Dul. Maksudnya bagaimana ya?”
“Hehehee..jelasnya kita tunggu Kang Soleh. Biar kamu berhenti tuntas, taubatan nasuha dari ngelamun yang ngelantur. Lalu nanti kamu bisa tafakkur. Bukan kethekur!”
“Lhah kamu kayak mendiang Mbah Surip aja, pakai ilmu gathuk segala.”
Dua sahabat itu menikmati kopi pagi. Nikmatnya bukan main. Kang Soleh datang dengan sarung yang membungkus kepalanya, mirip orang gunung kedinginan.
Tiba-tiba ia nerocos saja. “Orang yang sensntiasa membuat angan-angan apa yang akan dikerjakan, apa yang akan dilakukan, sesungguhnya tergolong orang alpa. Kenapa demikian? Karena ia lupa bahwa Allah SWT-lah yang sedang memberlakukan semua itu. Ketika Anda sedang menunggu atau merenung apa yang bakal dilakukan, apakah itu soal dunia atau soal agama, pada saat yang sama, di manakah peran Allah tiba-tiba hilang begitu saja?
Kenap demikian? Karena orang tersebut pasti sangat bergantung dan mengandalkan amal usahanya, maka ia senantiasa tidak akan meraih kesempurnaan selamanya.
Sedangkan orang yang berakal sehat, akan meninggalkan semua itu, mengembalikan pada kepasrahan dan kerelaan dirinya kepada Allah atas apa yang dikehendaki-Nya. Ia tidak berbuat pada waktunya kecuali atas perintah-Nya.
“Lhah, kok tahu Kang?”
“Lha sejak tadi saya dengarin kamu ngobrol dari luar kok..”
“Nah, kata Abu Ayyub as-Sikhtiyani ra mengatakan, “Bila tak ada yang kau kehendaki, maka kembalikanlah apa adanya.”
Umar bin Abdul Aziz Ra mengatakan, “di pagi hari, tak ada kegembiraan bagiku kecuali pada tempat-tempat takdir-Nya.”
Syekh Abu Madyan Ra mengatakan, “Berhasratlah untuk menjadi pasrah total, siapa tahu Allah melihatmu lalu Allah merahmatimu.”
Abdul Wahid bin Zahid mengatakan, “Rida itu adalah pintu Allah paling agung dan tempat istirahatnya ahli ibadah serta surga dunia.”
Sang Sufi, manakala muridnya masuk di hadapannya selalu menyanyikan syair ini, dan syair ini diperuntukkan kaum ‘arifin:
Ikutilah desau ketentuan-Nya
Ikutilah pusarannya ke mana berputar
Pasrahkan padanya dengan total
Berjalanlah ke mana ia bergerak.
“Weleh indah banget, Kang..”
Tapi Pardi terus mendekur. Ia tertunduk sembari mengelus jidatnya yang teriring istigfar berkali-kali.
Sumber : Kedai Sufi
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar