Muludan Apa Mulutan
sedari pagi itu Pardi terus ngoceh, melebihi burung cocak rowo. Suaranya kadang
lantang diselingi gelak tawanya yang nyaring. Sulit dibedakan, apakah Pardi
sedang dikedai atau sedang di tengah2 pasar sepeda untuk bermakelaran.
"Mustinya bulan-bulan kelahiran Nabi SAW ini kamu banyak baca sholawat Di, bukan
main mulut terus2an begitu. Bisa2 kamu nggak dapat Maulud tapi malah dapat mulut
saja," Dulkamdi menginterupsi. "Habis, saya pusing dengan berita politik, Dul.
Daripada ngoceh di Senayan sono, mending disini saja Dul". "Tapi lebih mending
kamu baca sholawat lo Di". "Iya si. Tapi gregetanku belum selesai, masak saya
harus baca sholawat sambil gregetan Dul," "Ya siapa tahu, sholawatmu nanti bisa
meredakan gregetanmu". "Wah, kamu benar2 seperti Kiai Dul". "Minimal jadi Gus
lah," "Kalau jadi Gus, dikira kamu adiknya Gus Dur, wong panggilannya Gus Dul.
hahaha,"
lantang diselingi gelak tawanya yang nyaring. Sulit dibedakan, apakah Pardi
sedang dikedai atau sedang di tengah2 pasar sepeda untuk bermakelaran.
"Mustinya bulan-bulan kelahiran Nabi SAW ini kamu banyak baca sholawat Di, bukan
main mulut terus2an begitu. Bisa2 kamu nggak dapat Maulud tapi malah dapat mulut
saja," Dulkamdi menginterupsi. "Habis, saya pusing dengan berita politik, Dul.
Daripada ngoceh di Senayan sono, mending disini saja Dul". "Tapi lebih mending
kamu baca sholawat lo Di". "Iya si. Tapi gregetanku belum selesai, masak saya
harus baca sholawat sambil gregetan Dul," "Ya siapa tahu, sholawatmu nanti bisa
meredakan gregetanmu". "Wah, kamu benar2 seperti Kiai Dul". "Minimal jadi Gus
lah," "Kalau jadi Gus, dikira kamu adiknya Gus Dur, wong panggilannya Gus Dul.
hahaha,"
Pardi sudah tidak ngoceh lagi. Tapi kakinya mulai ber goyang2, kepalanya
manggut2, mendengar nyanyian radio pagi itu. Nyanyian Sholawat Nabi-nya Hadad
Alwi. "Enak juga lagu ini, Dul," "Lebih enak lagi kalok hatimu yg menyanyi, Di"
"Maksudmu?" "Kata Kang Soleh, dalam batin kita ini selalu ada orkestra, yg bisa
berbunyi secara bersamaan dgn suara merdu melodius. Maka, jika orkestra itu
dimulai, segalanya jadi indah, apalagi kalau orkestra jiwa kita adalah nada2
kecintaan kita kepada Nabi SAW." "Wah, dahsyat juga Dul. Kamu bisa membunyikan
orkestramu?" "Belum bisa Dul. Saya masih belajar menabuh dram saja sulitnya
bukan main." "Dram jiwamu itu apa, Dul?" "Dram jiwaku masih berbunyi Istighfar
saja. Mestinya perkusinya bunyi Subhanallah, biolanya bunyi Sholawat, gendangnya
bunyi Allah...Allah..gitarnya bunyi Ya Hayyu Ya Qayyum, pianonya bunyi Ya Latif,
rebananya bunyi Tahlil dan seterusnya Di. Tapi saya baru melatih bunyi istighfar
saja sering lupa..,"
Pardi terdiam, mencoba menikmati suara dalam jiwanya. Ah, kok sulit banget.
Mengapa suara itu sulit berbunyi dalam rancak irama Illahiyah, sementara ia
sendiri bisa melamun dengan berbagai masalah yg terbayang dalam satu nada
lamunan yg panjang? Pardi terus bertanya2 tentang keajaiban hati itu.
"Iya ya Dul, keindahan dari musik2 Illahiyah dalam jiwa kita, rasanya akan
semakin mendorong kecintaan kita. Tapi apa si Dul, menurut kamu, makna cinta
kita kepada Nabi SAW itu?" "Saya juga masih meraba2, Di. Setiap hari saya
bertanya pada diri sendiri, kalau aku sudah beriman kepada Allah dan Rasulnya,
lalu apakah aku sudah mencintai Allah dan Utusan yang menjadi Kekasih-Nya itu?
Aku selalu bertanya bertanya pada diri sendiri, Di."
"Ada dua cinta yg sedang merayapi jiwa kita," tiba2 Kang Soleh nyeletuk dibalik
dinding bambu kedai itu. Sejak tadi Kang Soleh mendengarkan diskusi Pardi dan
Dulkamdi. Dan Kang Soleh langsung menyelinap lewat pintu belakang kedai Cak San.
"Cinta yg pertama, adalah cinta karena sebuah pesona, lalu pesona itu
mengkristal dalam butiran permata bahkan menjadi permata itu sendiri. Ketika
mulai engkau dengarkan dendang melodi jiwamu yang menggetarkan rancak musik
Illahiyah, pertama kau menikmatinya, lalu engkau menikmati apa yang tertuju oleh
musik itu, lalu engkaupun mencintai apa yang tersembunyi dibalik nada-nada indah
itu. Disana baru engkau Cintai Sang Nabi, engkau Cintai Yang Maha Mencintai Sang
Nabi."
"Cinta kedua, Kang?"
"Cinta kedua, adalah cinta karena cinta itu sendiri melimpah. Ketika Allah
mencintaimu, maka tumbuhlah bunga mawar pujian yg tiada hingga dari jiwamu,
sampai2 engkau katakan Wahai Sang Kekasih. Ketika Nabi mencintaimu, tiba2
hasratmu bergerak, bibirmu bergetar, lidahmu tanpa keluh melantunkan rasa
cintamu terhadap Nabi, lewat sholawat-sholawat itu."
"Wah, cinta semakin dahsyat dan membara Kang.." "Ya, cinta pertama tadi, adalah
gubahan lagu2 yg dinyanyikan kalangan para pecinta - Al-Muhibbin- sedangkan
cinta yg kedua adalah Gubahan Illahi dan Kekasih-Nya, yg melimpah pada hamba2Nya
yg di cintaiNya, dan mereka ini disebut yang tercinta, alias Al-Mahbubin.
Makanya, puncak Asmaradahana Al-Muhibbin adalah awal dari Mahbubin."
"Cukup Kang! Cukup. Subhanallah..Subhanallah..aku tak mampu mendengarkan lagi
Kang, aku tak sanggup!" teriak Pardi, dengan tubuh seperti menggigil dan badan
yg gemetaran.
Pardi mengalami ektase. Pardi sedang jadzab. Suasananya jadi agak membingungkan.
Lalu Kang Soleh mengajak jama'ah kopi pagi itu untuk bersama2 mendendangkan
lagu2 Sholawat Burdah. Terdengarlah nasyid yang indah dikedai itu. Lambat laun
muka Pardi mulai memerah, dari pucat pasinya yg tergenggam oleh Genggaman
Illahiyah. Bibirnya mulai mengembangkan senyuman, walaupun sisa2 gelembung air
dimatanya belum tuntas pula.
Sumber : Kedai Sufi
Oleh : Mohammad Luqman Hakiem - Cahaya Sufi Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar